Pagi ini espresso kedua. Cuaca Da Nang lagi gerimis tipis, laptop jadul aku nyala sejak jam 5 pagi, tab browser penuh quotes invoice yang belum lunas. Income bulan November kemarin? 6,4 juta. Pas-pasan banget buat hidup di Vietnam, apalagi kalau kurs lagi jelek. Tapi ya sudahlah, ini yang aku pilih.

Aku BENX, 32 tahun bulan ini. Dan ini cerita kenapa aku restart dari nol di usia yang katanya “sudah dewasa” ini.
Dulu Aku Bassist Black Metal Band yang Dibuang
2010–2012. Aku masih SMA kelas 3 sampai kuliah semester awal. Band black metal lokal Bogor, latihan di studio kusam yang bau rokok sama keringetan, mimpi pengen kayak band-band underground yang udah touring keluar kota. Aku bassist black metal yang tekniknya biasa aja, tapi semangat gila-gilaan.
Awal-awal kita nyari gigs sendiri. Dateng ke kafe-kafe kecil, tawarin manggung gratis asal dikasih slot. Kadang dapet, kadang diusir sama ownernya karena genre kita “terlalu berisik buat pelanggan”.
Lama-lama mulai ada yang undang. Event lokal, anniversary komunitas, ultah distro. Bayarannya? Minuman intisari atau anggur merah 2-5 botol. Kadang kalau event lumayan besar, dapet uang tunai 500 ribu buat dibagi lima personil.
Aku seneng banget waktu itu. Rasanya hidup ada arti waktu kamu bawa bass di atas panggung, headbang bareng puluhan orang yang bahkan gak kenal nama kamu. Dapet bayaran botol minuman atau 100 ribu per orang rasanya kaya menang lotre.
Tapi lama-lama sebagai bassist black metal juga aku mulai sibuk. Kuliah, kerja paruh waktu, plus mulai serius ngutak-atik server game online. Latihan band sering bolong. Manggung kadang gak bisa dateng karena bentrok jadwal.
Sampai suatu hari vokalis nge-chat: “Lo dikeluarin. Lo terlalu sibuk, band butuh orang yang komit.”
Gitu aja. Gak ada meeting, gak ada diskusi, gak ada “ayo kita cari solusi”. Langsung dibuang.
Aku cuma bisa gigit jari sambil ngeliat foto-foto lama di Facebook waktu masih jadi bassist black metal. Bass aku nganggur di pojokan kamar. Sejak itu 13 tahun aku gak pegang bass serius lagi.
RF Demonic: Private Server Legendaris yang Bikin Aku DO
2012–2014. Zaman kuliah. Aku dan temen-temen nge-host private server RF Online namanya RF Demonic. RF Online itu MMORPG Korea jadul yang di Indonesia sempet booming banget tahun 2000-an akhir. Private server artinya server “bajakan” yang dikelola sama komunitas, bukan official.
Dan anjir, RF Demonic itu RAME BANGET. Peak-nya ada 1000+ online bersamaan, forum BBCode penuh drama guild war, donasi ngalir tiap hari. Aku yang ngurusin billing system, server maintenance tengah malam, bales komplain player yang toxic abis.
Income? Lumayan. Tapi stressnya GILA. Tiap hari ada aja yang protes: “server lag anjir”, “GM curang”, “ini cheat kok gak di-ban”. Belum lagi serangan DDoS dari server kompetitor yang kesel playernya pindah ke kita.
Kuliah? Mulai berantakan. Aku sering bolos kuliah buat jaga server. Tugas dikerjain asal-asalan atau nyontek punya temen. Dosen mulai manggil, orangtua mulai curiga.
2014 awal, server kena DDoS masif berhari-hari. Hosting provider nyerah, backup data ilang sebagian. Pemain kabur. Donasi mandek. Aku burnout total. Berat badan turun 8 kilo, tidur cuma 3-4 jam sehari, makan seadanya.
Yang lebih parah: kuliah aku DO. Drop out. Gak lulus. Semua SKS yang udah dikumpulin hilang gitu aja.
RF Demonic ditutup permanent. Kuliah gagal. Hidup aku umur 20-an awal berantakan total.
Dan aku gak pernah sentuh game development lagi sejak itu.
Nyangkut di Dinas Sosial Bogor Pas Pandemi (2019–2021)
Entah kenapa setelah RF tutup dan DO, hidup aku jadi bingung. Kerja serabutan, jadi freelancer alakadarnya, sempet nganggur 6 bulan. Orangtua udah pasrah liat anak mereka yang “punya potensi” tapi gak bisa apa-apa.
Terus 2019 akhir—tepat sebelum pandemi—aku diterima jadi staff kontrak di Dinas Sosial Kota Bogor.
Kerjaan? Data entry, bantuin program bantuan sosial, ngurusin taman makam pahlawan. Gaji seadanya bisa dibilang pas UMR bogor saat itu. Pas buat hidup di kontrakan, makan seadanya, sesekali nongkrong kafe.
Awalnya fine-fine aja. Tapi lama-lama aku ngerasa mati rasa. Datang jam 8, pulang jam 4, lembur kalau ada program dadakan. Repeat. Repeat. Repeat.
Pandemi COVID-19 bikin kerjaan makin chaos. Program bantuan sosial bertubi-tubi, data warga yang ngantri bantuan ribuan orang, sistem pendataan masih manual Excel yang sering corrupt. Aku capek banget, tapi gak bisa resign gitu aja karena ekonomi lagi susah.
Sampai suatu hari di pertengahan 2021, aku bangun tidur dan ngerasa: “Aku gak sanggup hidup kayak gini 20 tahun lagi.”
Bulan Oktober 2021, aku resign mendadak. Tanpa rencana backup. Tanpa kerjaan baru. Cuma modal nekad plus tabungan seadanya yang aku kumpulin setahun.
Kabur ke Vietnam Awal 2023: Keputusan Paling Gila Sekaligus Paling Bener
Setelah resign, aku balik jadi freelancer full. Proyek web development WordPress, Shopify, sesekali Laravel kalau ada yang mau bayar mahal. Income naik turun, kadang 10 juta sebulan, kadang cuma 4 juta. Gak stabil, tapi aku lebih happy daripada kerja kantoran.
Terus aku iseng ngitung: “Kalau hidup di Indonesia dengan income segini, aku bisa apa? Kontrakan sempit, makan seadanya, nabung susah.”
Aku mulai riset soal digital nomad. Negara-negara Asia Tenggara yang cost of living rendah tapi kualitas hidup lumayan. Vietnam muncul sebagai opsi menarik: visa cukup gampang (visa on arrival 90 hari, bisa extend), biaya hidup lebih murah dari Jakarta, internet kenceng, kopi enak dimana-mana.
Januari 2023, aku berangkat ke Vietnam. Destinasi pertama: Da Nang.
Awalnya cuma planning 3 bulan buat nyobain. Tapi sampai sekarang—hampir 3 tahun—aku masih di sini. Da Nang jadi base utama, sesekali pindah ke Ho Chi Minh buat variasi atau cari proyek klien baru.
Pulang ke Indonesia? Cuma setahun sekali, itu pun buat urus perpanjangan paspor atau ketemu keluarga sebentar. Lebih dari itu aku gak betah balik.
Income Real-Time: Gak Selalu Bagus, Gak Selalu Jelek
Ini yang mau aku spill jujur di blog ini: income aku TIDAK STABIL.
Bulan bagus bisa 12–15 juta. Bulan jelek cuma 4–5 juta. November 2025 kemarin 6,4 juta. Itu udah termasuk proyek kecil WordPress theme customization, maintenance website klien lama, dan dua landing page Shopify yang dibayar dollar tapi konversinya zonk.
Hidup di Da Nang dengan 6 juta sebulan? Cukup, tapi ketat. Kontrakan aku 4 juta VND (sekitar 2,5 juta rupiah), makan sehari-hari 1,5 juta, kopi espresso tiap pagi di kafe langganan 800 ribu sebulan, sisanya buat internet, transportasi, dan nabung dikit (kalau ada sisa).
Gak ada yang glamor. Gak ada liburan ke Bali tiap bulan. Gak ada beli gadget baru tiap tahun. Ini hidup pas-pasan tapi bebas.
Dan aku milih ini daripada gaji 8 juta di kantoran Jakarta terus macet 3 jam sehari.
Restart Musik Setelah 13 Tahun: “Restart di Usia 32”
23 November 2025 kemarin, aku rilis single pertama setelah 13 tahun vakum dari musik. Judulnya “Whispers in The Rain”, genre metalcore/emo yang jauh banget dari saat jadi bassist black metal dulu.
Kenapa tiba-tiba rilis? Karena aku capek ngerasa hidup cuma soal invoice dan deadline doang.
Single ini aku rekam sendiri di kontrakan pakai laptop sama audio interface murah. Mixing seadanya, mastering pakai preset gratisan. Liriknya jujur banget: soal hidup di usia yang katanya “udah terlambat”, soal income gak stabil, soal romansa tiba-tiba mati, soal dikhianati saat malam hujan.
Rilis di Spotify, Apple Music, YouTube Music. Promosi cuma dari akun Twitter (sekarang X) sama blog ini. Sekarang 10-an streams. Gak banyak, tapi aku gak peduli. Ini bukan buat viral atau jadi artis terkenal. Ini cuma buat ngingetin diri sendiri: “Lu masih bisa bikin sesuatu meski hidup berantakan.”
Outro dari single itu ada lirik:
“Just whispers… in the rain…
Betrayal… again…”
Dan itu BENAR BANGET buat hidup aku sekarang.
Instagram Disable Permanen 3 November 2025: Platform yang Aku Bangun 12 Tahun Hilang Dalam Semalam
3 November 2025. Aku bangun tidur, buka Instagram, login error. Coba berkali-kali, muncul notifikasi: “Your account has been disabled for violating our terms.”
30 ribu followers yang aku kumpulin sejak 2013 hilang gitu aja. Tanpa warning. Tanpa alasan jelas. Appeal yang aku submit ditolak otomatis.
Aku gak pernah jual obat-obatan terlarang, gak pernah posting konten dewasa, gak pernah spam. Tapi ya sudahlah, Meta bisa nge-ban siapa aja kapan aja tanpa perlu kasih alasan.
Yang bikin kesel: Instagram itu salah satu channel income aku. Ada beberapa klien yang contact lewat DM Instagram, ada proyek kecil dari story mention. Sekarang semua hilang.
Dan di saat yang sama aku sadar: platform digital itu bukan punya kita. Followers, engagement, konten—semua bisa hilang dalam sekejap kalau platform bilang “selesai”.
Makanya sekarang aku fokus ke blog ini: BENX. Hosting masih di WordPress.com gratis (iya, aku masih bokek buat self-hosting), tapi rencana 2026 nanti migrasi ke hosting sendiri.
Blog ini yang sepenuhnya punya aku. Gak ada algoritma yang bisa nge-ban, gak ada bot yang bisa disable akunnya.
Di Antara Kopi dan Deadline: Tagline yang Beneran Menggambarkan Hidup Aku
Espresso. Americano dingin pas siang terik. Itu yang bikin otak aku nyala tiap hari.
Deadline proyek. Invoice yang belum dibayar. Client yang ghosting setelah revision kelima. Itu yang bikin hidup aku stress tiap hari.
“Di antara kopi dan deadline” bukan cuma tagline. Itu REALITA hidup freelancer digital nomad yang gak selalu indah kayak foto Instagram (oh wait, Instagram aku udah mati sih).
Kadang aku ngerasa capek banget. Pengen balik kerja kantoran aja, gaji pasti tiap bulan, ada BPJS, ada THR. Tapi setiap kali pikiran itu muncul, aku inget: “Lu resign dari Dinas Sosial buat apa? Buat balik lagi ke sistem yang bikin lu mati rasa?”
Jadi aku terus.
Terus ngoding sampai mata perih.
Terus ngopi sampai maag kambuh.
Terus nulis blog meski yang baca cuma 3 orang.
Terus bikin musik meski yang dengerin cuma 50 orang.
Karena restart bukan berarti sukses. Restart cuma berarti belum mati.
Apa yang Bisa Lu Harapkan dari Blog Ini?
Aku janji ke pembaca blog ini—meski pembacanya masih nol besar sekarang—aku bakal spill income real-time tiap bulan.
Gak peduli bulan depan income aku cuma 4 juta atau tembus 15 juta, aku bakal tulis di sini. Lengkap sama breakdown-nya: dari mana dapet, proyek apa aja, klien bayar berapa.
Aku juga bakal cerita hidup tanpa sensor. Kalau lagi bokek, aku tulis bokek. Kalau mental lagi ambruk, aku tulis ambruk. Kalau lagi seneng karena dapet klien baru yang bayar mahal, aku tulis seneng.
Anti motivasi klise. Gak ada “percaya diri pasti sukses”, gak ada “semesta akan memberi jalan”, gak ada “tetap semangat kamu pasti bisa”.
Yang ada cuma: “Hidup ini breakdown yang gak ada outro-nya, tapi ya sudahlah, kita terus aja.”
Restart di Usia 32: Terlambat atau Justru Pas?
Banyak orang bilang 32 tahun itu udah terlambat buat restart. Harusnya udah settle, udah punya rumah, udah punya anak, udah jadi manager di perusahaan bonafid.
Tapi buat aku? 32 tahun ini adalah titik paling jujur dalam hidup aku.
Aku udah gak peduli apa kata orang. Aku udah gak peduli apakah hidup aku “sukses” menurut standar sosial. Aku cuma peduli: apakah hari ini aku masih bisa bangun, nyalain laptop, bikin secangkir espresso, dan ngerjain sesuatu?
Kalau iya, berarti aku belum mati.
Kalau iya, berarti aku masih bisa restart.
Bassist black metal band yang dibuang karena terlalu sibuk? Sekarang jadi musisi metal solo yang juga gak kemana-mana.
Founder private server RF Online yang burnout sampai DO? Sekarang jadi freelancer dan digital nomad yang juga sering burnout.
Staff Dinas Sosial yang resign mendadak? Sekarang jadi digital nomad yang masih gak tau masa depan gimana.
Tapi semua itu tetep lebih baik daripada hidup mati rasa di balik meja kantor yang sama selama 20 tahun.
Espresso ketiga hari ini mulai dingin. Laptop masih nyala. Invoice belum dibayar. Tapi artikel pertama blog ini selesai juga.
Welcome to BENX. Di antara kopi dan deadline, ini dokumentasi restart aku di usia 32.
—BENX
Kontrakan kecil, Da Nang, Vietnam
1 Desember 2025

4 thoughts on “Bassist Black Metal ke Income 6 Juta: Restart di Usia 32”